Budaya Bisnis Jepang dan Cina, versus Amerika Serikat (Barat)

6 12 2008

barat-vs-timurInovasi dalam sudut pandang Jepang dinilai sebagai hasil kerja tim (Seng, 2007). Tidak ada pendapat individual dalam kelompok. Sehingga tak heran jika di perusahaan-perusahaan besar PMA Jepang di negara Indonesia (misalnya Toyota Astra Motor), kerjasama tim sangat ditekankan di masing-masing divisi untuk menghasilkan sebuah inovasi produk (goningumi). Folosofi bisnis Jepang mengatakan bahwa rasa memiliki organisasi sangat tinggi. Hal ini sesuai budaya asli orang Jepang, menjunjung tinggi harga diri (semangat bushido dan samurai). Dalam hal kedisiplinan, Jepang sangat ketat. Mereka rajin bekerja dan giat. Dalam hal lini manajemen, hampir bisa dikatakan tidak ada batas ruang antara atasan dan bawahan. Budaya kerja Jepang sangat menghargai waktu. Pencatatan waktu kerja sangat diperlukan. Budaya senam pagi sebelum kerja juga merupakan hal yang sangat umum dilakukan di perusahaan-perusahaan Jepang. Setelah keruntuhan Jepang dengan adanya bom di nagasaki dan hiroshima, Jepang berusaha meniru dan mempelajari produk lain dari luar untuk kemudian dikembangkan sendiri menjadi sebuah karya yang inovatif. Ada juga paradigma Jepang yang menyatakan bahwa setiap laki-laki Jepang wajib bekerja. Lain halnya dengan wanita. Jika seorang wanita telah melahirkan, maka kewajiban yang utama adalah mengurus rumah tangga. Jika seorang laki-laki pulang kerja lebih awal, justru akan dipertanyakan oleh tetangga sekitar. Bisa dikatakan merupakan sebuah aib. Tidak menyia-nyiakan waktu adalah sesuatu yang lumrah di sana. Misalnya dengan membaca buku ketika dalam perjalanan naik kreta. Sampai tahun 2007, Jepang adalah negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Hutang adalah sebuah pantangan di negara tersebut. Hidangan wajib warga Jepang adalah teh hijau.

Sebagai contoh di Toyota. Ada dua kunci utama kesuksesan perusahaam raksasa itu. Dalam buku ”Toyota Way” (Liker, 2206), diungkapkan bahwa kunci tersebut adalah (1) continuous improvement; (2) respect to the other people. Perubahan yang berkelanjutan dan dilakukan dengan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit), begitulah yang diterapkan di sana. Kunci kedua adalah menghargai pendapat setiap orang di perusahaan, tak peduli apa posisi dan jabatanya. Karena bisa jadi hal itu yang akan menjadi salah satu kunci sukses perusahaan, misalnya dalam hal inovasi proses bisnis.

Cina lebih fleksibel dan terbuka daripada Jepang dalam hal berbisnis. Sehingga koneksi dan jaringan Cina lebih luas daripada Jepang. Kepercayaan sangat dijunjung tinggi di Cina. Merantau adalah hal yang utama dan wajar dilakukan untuk merubah nasib menjadi lebih baik. Maka, dapat dilihat di berbagai penjuru dunia, warga Cina tersebar luas di mana-mana. Dan sangat ulet dalam hal bekerja, seperti halnya Jepang. Budaya Cina, tak malu-malu untuk melakukan pekerjaan apapun, yang penting menguntungkan. Walaupun pekerjaan itu kasar, misalnya harus mengurus toko material sampai angkat-angkat material.

Lain halnya dengan budaya Barat (Amerika Serikat). Inovasi adalah sebuah karya individu. Sikap kapitalisme sangat berkembang. Sebagai misal, ketika seorang pekerja dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar di perusahaan lain, walaupun lebih mapan dan lebih lama bekerja di perusahaan asal, maka tentu saja yang diutamakan adalah materi, mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Dengan cara apapun. Ibaratnya seekor tikus. Maka akan mencari bongkahan keju yang lebih besar. Berlomba-lomba untuk memperkenyang diri sendiri dahulu. Prinsip kepemimpinan ditekankan di paradigma barat atau Amerika. Budaya feodal (perbedaan harkat dan martabat antara petinggi dan bawahan) sudah menjadi barang yang wajar.

Dalam bukunya “The Starbucks Experience”, Joseph A. Michelli (seorang konsultan dan peneliti di bidang manajemen) mencoba mengungkapkan rahasia suksesnya kedai kopi Starbucks. Ada lima hal yang menjadikan perusahaan Amerika itu meraup sukses, bahkan sampai di Indonesia. Prinsip pertama yakni “Lakukan dengan cara anda”. Prinsip kedua yakni “Semuanya penting”. Prinsip ketiga “ Kejutan dan kenikmatan”. Prinsip yang keempat adalah “terbuka terhadap kritik”. Sedangkan yang terakhir adalah “Leave your mark”. Terlihat bahwa paradigma bisnis Amerika sangat menghargai pelanggan dan mencoba memanjakan serta memenuhi semua keinginan pelanggan. Howard Schultz adalah orang di belangan suksesnya Starbucks.

Contoh lain adalah di pabrik lampu GE (General Electric). Pabrik yang bercikal bakal dari Thomas Alpha Edison. Diungkapkan Rothschild (2008), bahwa kunci sukses GE menerapkan LATIN (Leadership, Adaptability, Talent, Influence and Network). Ada empat tahap kemajuan suksesnya GE sampai saat ini.

Referensi :

Liker, Jeffrey K. ”Toyota Way”. Jakarta : Erlangga. 2006.

Michelli, Joseph A. “The Starbucks Experience”. Jakarta : Erlangga. 2007.

Rotschild, William E. ”Rahasia Sukses GE”. Jakarta : Salemba Empat. 2008.

Seng, Ann Wan. ”Rahasia Bisnis Orang Jepang”. Jakarta : Hikmah. 2007.


Aksi

Information

7 responses

8 12 2008
ical

wah..wah..rupanya budaya bisnis negara maju seperti itu ya. kalau dibandingkan dengan budaya di Indonesia seperti apa, bung?hehe..

8 12 2008
nurrahman18

klo indonesia masih dlm tahap ‘menemukan identitas budaya’yg cocok dan mapan.he2.
budaya ‘priyayi’ bisa dkatakn msh cukup tinggi,mgkn karna sebagian besar suku bangsa adalh jawa. (saya juga org jawa bung ical).
ada sebuah ironi dr seorang aktivis LSM Jerman dijogja yg mengatakn; indonesia djajah ratusan tahun,nah utk bangkit dan membangun budaya bisnis yg juga butuh waktu yg krg lbh sama dgn waku penjajahan;p.
tp smoga tidak.amin!

10 12 2008
annosmile

mau niru cara bisnis orang mana ya
bingung 😀

10 12 2008
heroe

mentalitas bangsa terjajah emang bgitu mas arif…. al qur’an pun mencatat mentalitas terjajah bani israil, setelah lama terkukung fir’aun… baru sebentar dislamtkan melewati laut merah dah nyembah patung sapi…..

but tenag aja, mentalitas sebagaian besarnya begitu… tapi tentu ada pengecualian utk mentalitas pemenag lainnya.

10 12 2008
nurrahman18

@anno….jangan meniru, kita pake budaya asli indonesia yang bagus…:D
@heru….kita harus jadi mentalitas “pemenang”itu mas heru…:D

31 05 2011
Abdul Sidik

Indonesia memiliki budaya tersendiri, jika digali saya yakin akan lebih berhasil di banding negara-negara tersebut, asal hilangkan budaya KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME… betul ga?

31 05 2011
nurrahman18

betul secara normatif dan idealnya, klo realita di lapangan spertina perlu usaha masif

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




%d blogger menyukai ini: