“Tanamlah bibit yang baik mulai dari sekarang, walaupun hari esok kiamat”. Rasanya peribahasa itu cocok untuk Indonesia yang sedang terseok-seok menghilangkan image sebagai negara dengan tingkat korupsi 2.6 (Data ICW dari transparansi Indonesia). Nilai yang cukup buruk kata ICW, mengingat bahwa nilai yang bagus (perfect) dari indeks persepsi korupsi tersebut adalah di atas 8. Bahkan Indonesia berada di posisi nomor di bawah Vietnam. Jauh di atas Singapura dan Malaysia yang mempunyai indeks persepsi korupsi mencapai 5. Baru kemarin Indonesia (dan negara-negara lain di dunia yang menandatangani pakta anti korupsi pada tahun 2003) merayakan atau memperingati hari antokorupsi. Dan kantin kejujuran dibuka dimana-mana,di sekolah-sekolah dari mulai Perguruan Tinggi, SMA, SMP dan sekolah dasar. Dan baru kemarin pula (9 Dsember 2008), Bapak SBY memberikan pidato kepresidenan yang menyatakan bahwa ada 8 pos utama yang membuat korupsi di negara Indonesia meraja sampai sekarang ini. Kesemuanya adalah sebuah pos perekonomian makro. Bukanlah korupsi di lembaga mikro. Lembaga-lembaga yang jauh dari “pejabat” dan “kekuasaan”. Apakah memang di ladang pos ekonomi “makro” itukah benar-benar janung perekonomian negara kita bercokol di situ? Sehingga jika pos-pos tersebut goyah maka negara juga goyah? Atau ada sektor lain untuk memberdayakan perekonomian kita sehingga meuju kemapanan?
Pemberdayaan atau dalam bahasa aslinya adalah empowerment. Merupakan sebuah istilah untuk mendefinisikan suatu kegiatan untuk menggalakkan atau meningkatkan nilai geraknya. Ekonomi mikro sudah sejak lama sebenarnya menjadi tulang punggung negara kita. Tengoklah koperasi yang sudah sejak dari dulu (kurang lebih tahun 50an), adalah idola masyarakat Indonesia. Jika kekurangan modal atau ingin pinjam uang sekadar untuk membiayai anak sekolah, maka koperasi adalah jawabanya. Bukan yang lain. Dan pada jaman itu pula (menurut orang-orang yang hidup pada jaman itu, dan sampai sekarang masih hidup), terjadi jaman makmur. Rakyat tidak pernah merasakan kekurangan. Baru pada tahun 1960-an, tindakan subversif PKI mulai mengawali ”swasembada” pangan rakyat mulai buyar. Tahun 70-80an ketergantungan terhadap lembaga keuangan mikro yang bernama koperasi perlahan-lahan luntur. Era berikutnya sampai sekarang, lembaga keuangan mikro sejenis mulai tergeser oleh Bank (yang notabene sebagai lembaga keuangan makro). Yang menyedihkan lagi, justru semakin ke era reformasi dan demokrasi sekarang ini, yang namanya tengkulak dan debt collector atau lintah darat tetap berjaya menyelenggarakan prakteknya. Rakyat kecil sulit percaya pada lembaga keuangan makro seperti bank karena prosedurnya dianggap susah, bunganya tinggi.
Yang diperlulakan adalah sebuah pemberdayaan lembaga keuangan mikro yang ”mantap”. Semenjak ”turunnya” fungsi lembaga keuangan mikro yang mulai hilang dari kepercayaan rakyat, maka pemerintah telah menggulirkan berbagai macam program. Mulai dari pemahaman koperasi di sekolah-sekolah (dijadikan pelajaran sampai koperasi sekolah), sampai program0program modern seperti saat ini. Ada KUR (Kredit Usaha Rakyat), BLT dan semacamnya. Program-program itu tidak semuanya benar-benar menggandeng lembaga keuangan mikro yang lebih dekat dengan rakyat. BLT disampaikan langsung ke rakyat. Tidak ada kerjasama atau kolaborasi dengan lembaga keuangan mikro seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat), BMT dan koperasi simpan pinjam. KUR justru lebih ”bersahabat” dengan bank-bank besar seperi Mandiri dan BRI.
Program pemberdayaan dan pendampingan dari lembaga keuangan mikro kepada usaha rakyat kecil (baca: UKM, usaha kecil menengah) memang tidak sedikit. Pemerintah berualng-ulang membuat program baru, tapi apakah dilakukan secara konsisten dari tahun ke tahun, dan kebijakan ekonomi makro berpihak pada kebijakan ekonoi mikro? Tidak semuanya ternyata. Sebagai contoh di Manding Yogyakarta. Adalah sebuah komplek kerajinan kulit untuk menghasilkan produk tas, sepatu dan sabuk. Sekarang terpuruk karena kalah nilai jualnya dengan investor-investor asing dari luar negri yang membuat pabrik di Jogja. Kebijakan pemerintah setempat mengijinkan investor asing membuat pabrik pesaing dari para pengrajin Manding. Terpuruklah sekarang. Koperasi di daerah Manding tidak bisa berkutik. Investor asing membuat pabrik langsung di Jogja dengan alasan padat karya. Dan pemerintah setempat dengan ”kebijakan ekonomi makro”nya mengijinkan. Tentu saja harga jual produk pabrik bisa lebih rendah, dan laris manis di pasaran. Produk dari pengrajin Manding, dengan harga sedikit lebih mahal, perlahan-lahan ”dimatikan” sendiri oleh kebijakan ekonomi makro pemerintah. Kondisi yang terjadi sekarang, para pengrajin memilih berhenti memproduksi kerajinan kulit, dan memasok barang dari daerah Jawa Timur seperti Magetan dan Ngawi, yang produknya lebih murah, sehingga laku di pasaran.
Kondisi sekarang (2008) memang sudah ”lebih diperhatikan” oleh pemerintah. Bank Indonesia melalui pemberdayaan UKM mulai ”memberdayakan” pengrajin Manding untuk bangkit. Tapi tetap saja kebijakan ekonomi makro belum sinkron, dan butuh waktu lama untuk memperbaiki ”ekonomi” warga Manding.
Pembangunan mal-mal dan pusat perbelanjaan supermarket juga bukan hal yang ”bijak” untuk pemberdayaan ekonomi mikro. Sebagai contoh didirikannya CareFour di Jogja. Terang saja masyarakat berduyun-duyun untuk datang dan rajin belanja di sana. Suasana lebih nyaman, bisa nongkrong dan murah pula. Dan masyarakat sejatinnya memberikan keuntungan paling besar kepada pemilik CareFour, investor dari Prancis, bukan masyaraat pribumi. Para penjual jajanan di pasar, toko-toko kecil yang berjumlah ratusan dan ribuan mulai “dimatikan” secara perlahan-lahan oleh kebjikan ekonomi makro. Kebijakan ”membolehkan” supermarket atau pusat perbelanjaan dengan investor dari luar negri untuk ”memupuk” kekayaan yang berlimpah ruah. Tapi UKM dan warga pribumi Indonesia hanya dapat keuntungan yang sedikit. Sedikit dibandingkan dengan investor asisng. Memang seolah-olah pembangunan Mal adalah padat karya, tapi jika dihitung jangka panjang, belum tentu seperti itu.
Kebijakan ekonomi mikro memang lebih tidak popular ”diperhatikan” oleh pemerintah. Padahal kebijakan ekonomi makro adalah kumpulan dari pembangunan ekonomi-ekonomi mikro. Indonesia yang punya predikat negara ke-4 dunia (data tahun 2008) dan hutan terluas ketiga di dunia (data tahun 2008), adalah negara yang sangat komplek. Dan kekomplekan berasal dari ”puing-puing” yang kecil. ”Puing-puing” ekonomi Indonesia adalah ekonomi mikro; BPR, BMT, Koperasi Simpan Pinjam, UKM dan sejenisnya. Keterpurkan impor-impor komoditas pangan (padahal Indonesia adalah negara dengan julukan gemah ripah loh jinawi), seperti kedelai (impor tahun 2008 diperkirakan 800 ribu ton, dengan kebutuhan 2 juta ton), dan beras (impor tahun 2008 bisa mencapai 400 ribu ton, dengan kebutuhan kurang lebih 2 juta ton); sudah saatnya diakhiri.
Dibutuhkan semua pihak untuk membantu. Membeli hasil pangan dari rakyat (maaf, bukan kampanye salah satu Capres!). Pemberdayaan lembaga keuangan mikro, UKM bekerjasama dengan lembaga keuangan mikro (BMT, BPR, Kospinjasa, Koperasi Karyawan, dll), dan kebijakam makro yang selalu ”mendukung” pemberdayaan ekonomi makro. Tidak ”seolah-olah membiarkan” keuntungan terbesar perekonomian berada di investor asing (seperti kebijakan yang dilakukan oleh Bupati Sragen, yang katanya 5 atau 10 tahun mendatang tidak akan ada Mal di Sragen).
^^^ pasar pagi Suronegeran Purworejo, pasar rakyat yang benar-benar merakyat ^^^
^ pasar ikan di Boh Penceng Purworejo, pasar rakyat yang benar-benar merakyat ^
[…] mungkin memang karena semenjak dahulu pendekatan makro (bukan mikro) lebih banyak digunakan untuk menilai kemakmuran ekonomi negri ini. Sehingga pasar modal yang […]