Entah dari mana istilah marjinal ini mucul untuk didefinisikan sebagai warga miskin, pemulung, pengamen, gelandangan, penduduk dengan status sosial rendah, dan pengemis. Mungkin juga belum banyak yang tahu darimana asal kata pengemis. Mengapa dinamakan “pengemis”? kalau mau sekadar googling maka akan menemukan sebuah penjelasan dari buku “Khasanah Bahasa dalam Kata per Kata” karya Prof. Gorris Keeraf yang mencoba menjelaskannya. Alkisah pada jaman dulu di tanah jawa ketika masa berkuasa para Raja. Diceritakan bahwa para penguasa gemar memberikan sedekah kepada kaum miskin ketika hari kamis. Dalam bahasa jawa lebih jamak dilafalkan “kemis”. Sehingga orang-orang atau warga miskin yang sering meminta-minta sekadar sumbangan di hari tersebut diberi julukan “pengemis”. Dan istilah itu langgeng sampai sekarang.
Kini, di setelah sekian lama tanah air Indonesia merdeka, untuk mencegah berkembangnya kaum marjinal yang artinya kemiskinan semakin manjalar maka dibuatlah sebuah peraturan atau undang-undang atas nama hukum. Entah apakah cara ini efektif apa tidak. Apalagi mungkin agak pas dengan momen ramadhan. Dimana kehadiran kaum marjinal justru disebut-sebut semakin banyak. Dengan asumsi bahwa akan semakin banyak orang mau bersedekah. Atau mungkin perlu dibuat penelitian yang membuktikan kolerasi positif antara semakin banyak orang ingin bersedekah dengan semakin banyak pengemis.
Bukan bermaksud mengeksploitasi atau apapun, tapi gambar di bawah ini adalah gambaran nyata yang sering terjadi. Dan tidak semua “ngeh” akan hal yang lebih bersifat strategis dari permasalahn tersebut. Mungkin karena sudah dianggap lumrah sehingga seolah dicuekin dan dibiarkan begitu saja. Apa adanya. Di sebuah acara di tengah kota jogja, tepatnya alun-alun utara jogja, begitu terlihat banyak orang terkumpul dengan segera dikerumuni oleh beberapa pengemis. Entah dadakan atau memang benar-benar pengemis. Dan hal tersebut juga sering nampak di beberapa supermarket di tengah kota. Apalagi sekarang bulan ramadhan. Wallahu’alam.
Dan dengan foto tersebut masalah kemiskinan kaum marjinal pasti tidak akan langsung teratasi. Tetapi paling tidak bisa menggugah semangat untnk menjalani hidup dan mensyukuri semua nikmat yang menempel di diri masing-masing orang yang diberi kelapangan hati. Kepalangan nikmat. Dan semoga juga bisa nembangkitkan kesadaran bersama untuk memberikan sedikit kelebihan nikmat. Kelebihan rejjeki yang berlimpah ruah. Bahkan bisa mendoakan adalah sebuah nikmat. Walaupun mungkin itu usaha yang paling minim dan lemah.
Teringat lagu iwan fals yang “untukmu terkasih”. Bang Iwan berkata andai saja setiap satu orang kaya memberikan kemudahan dan kelebihan rejeki ke satu orang miskin, maka selesai urusan kemiskinan di negara ini. Atau juga sindiran-sindiran di sinetron PPT 3. Dimana pemimpin wilayah, dalam hal ini RW, membuat aturan bahwa setiap orang yang akan makan harus melihat kanan kiri tetangga terlebih dahulu, apakah ada yang kekurangan makan. Semoga semua bersedia menyisihkan sedikit kenikmatan di bulan yang suci untuk yang belum mendapatkan cukup rejeki.….
Sekadar Ide
Teringat akan sebuah tulisan di sebuah papan di perempatan tugu jogja. Kurang lebih berbunyi begini : “Peduli bukan berarti memberi. Salurkan dana bantuan ada ke lembaga sosial keagamaan”. Terpampang juga sebuah gambar pengemis jalanan yang diberi uang oleh seorang pengendara mobil di sebuah jalan. tetapi diberi tanda silang warna merah tebal.
Berawal dari tulisan tersebut sebenarnya terpikirkan sekadar ide untuk pengentasan kemiskinan secara sistemik. Sekali lagi pendekatan yang dilakukan merupakan pendekatan makro. Dengan berbagai asumsi dan batasan tentunya. Hal ini tertopang pula sebenarnya dengan adanya aturan sebuah udang-udang yang tidak memperbolehkan memberikan uang ataupun bantuan secara sembarangan kepada pengemis atau gelandangan di pinggir jalan.
Terbayangkan jika semua aspek masyarakat sadar dan mendukung upaya sistemik untuk tidak memberikan sumbangan kepada kaum marjinal secara individual dan sembarangan, maka bantuan-bantuan tersebut ditangani secara sistemik oleh organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, keagamaan dan dinas pemerintahan terkait (mungkin atas nama dinas sosial). Asumsi dasarnya adalah stratagi pemerintahan secara sistemik benar-benar matang, dan tentu saja tidak hanya pemerintah yang bertindak. Tetapi semua elemen organisasi sosial kemasyarakatan yang berkaitan. Semua bergerak secara optimal. Karena pemerintahan saja kurang cukup. Hal ini karena (mungkin sudah manjadi rahasia umum dan tidak perlu dibuat penelitian secara kualitatif) bisa dikatakan bahwa “kepercayaan” sebagian besar masyarakat terhadap kinerja pemerintahan secara umum tidak besar. Sehingga sinergi antara pemerintah dan lembaga swasta, organisasi sosial kemasyarakatan laiinya sangatlah perlu. Kerjasama yang terjalin bukan hanya omong kosong di tataran pejabat teras saja. Tetapi bisa melalui MoU yang lebih jelas, misalnya antara lembaga sosial, kegamaan, pendidikan dan dinas pemerintahan terkait. Asumsi yang kedua bahwa dana untuk pengentasan kemiskinan di tanah air adalah cukup dari tanah air sendiri. Mandiri.
Memang aturan undang-udang saja tidaklah cukup untuk mengatur gerakan “tidak memberi sumbangan secara sembarangan kepada pengemis” ini. Karena seperti tadi diutarakan di atas bahwa “kepercayaan” masyarakat secara umum dirasa kurang. Kurang percaya, karena juga sudah menjadi rahasia umum bahwa jika dibandingkan antara kinerja pegawai swasta, wiraswasta dengan pegawai negri berbeda. Kecenderungannya dipandang bahwa kinerja orang-orang di pemerintahan lebih rendah. Tengok saja salah satu analogi indikator sederhana bahwa lebih banyak pegawai swasta yang terkadang lembur dan kerja keras di tempat kerja daripada pegawai negri.
Jadi, jika memang sudah terjadi kesepahaman bersama untuk mengentaskan kemiskinan secara sistemik (seperti sedikit diutarakan penjelasannya di atas). Maka kondisi yang terjadi adalah masyarakat akan terdidik untuk tidak mau memberikan sumbangan secara sembarangan dan secara person to person kepada kaum marjinal. Masyarakat akan memberikan bantuan atau sumbangannya kepada organisasi-organisasi atau lembaga sosial yang mengelola hal itu. Misalnya lembaga swadaya masyarakat, lembaga amil zakat, dinas kesejahteraan sosial dan sebagainya. Sehingga lembaga atau organisasi-organisasi tersebutlah yang akan menyalurkan banuannya kepada yang berhak.
Penyaluran dana bantuan bukan bersifat konsumtif. Tetapi dibuat sesuatu yang produkti. Jika konsumtif itu artinya sekali pakai habis seperti makan, sembako, kesehatan; maka bersifat produktif artinya adalah dengan memberikan kail. Dibuat agar dapat mandiri.
Lambat laun dan lama kelamaan jumlah pengemis akan berkurang. Karena tidak ada orang yang mau memberikan sumbangan di jalan-jalan raya atau perumahan. Dan harapanya kaum marjinal akan lebih merasa “nyaman” terbantukan oleh lembaga-lembaga sosial. Karena perlakuannya layak dan kaum marjinal tersebut malah bisa hidup mandiri.
Mungkin perlu juga ditanamkan di mata pelajaran pendidikan kewarganegaran atau tata krama ketika semenjak sekolah dasar bahwa memberikan sumbangan kepada pengemis di jalanan adalah perilaku yang kurang baik. Lebih baik diberikan kepada organisasi atau lembaga sosial. Dan tidak mau memberikan sekadar uang receh kepada pengemis di jalan bukanlah upaya yang bermakana tutup mata dan tidak peduli. Tetapi wujud kepedulian itu ditunjukkan dengan upaya yang lebih baik melalui lembaga sosial keagamaan. Semoga.
mudah2an termasuk ke dalam golongan yg peduli.. tp seringkali kemarjinalan itu diskenario kan. itu yg bikin keki.. mau ibadah jadinya batal terus.. Niat tulus sih sudah ada, tp kalau marjinalnya dibuat-buat..niatnya jadi menguap entah ke mana.. gile bener sekaran kaum marjinal jadi objek besar yang menguntungkan mereka yang tak punya hati nurani atau yang pintar mengutak atik hati nurani orang2 berduit.. salam!
mariberbagi sobat
🙂
iya mas memang rumit keadaan dinegara ini, tapi sepertinya pengemis sudah menjadi pekerjaan, sekarang banyak kedapatan bahwa para pengemis itu tidak semuanya benar2 orang yang tergolong tidak mampu, apalagi kalauy bulan puasa seperti sekarang ini, pengemis musimas banyak sekali didaerah jakarta, yang kasihan justru orang2 yang benar2 tidak mampu dan memang pekerjaannya mengemis, mereka jadi kalah saingan
Kemiskinan ternyata menjadi komoditas unggul di negara ini kok! ih ngeri juga. Bahkan menurut yang sering saya baca dan dengar mengemis sdh menjadi sebuat pekerjaan,.. **entah benar atau tdk! Akhirnya ada kata2 pengemis dadakan – pengemis musiman (kayak durian saja) tapi semoga saja beri yg saya dengar dan baca salah adanya..
kanapa ya indonesia banyak pengemis??
setuju mas.tukeran link ya. URL saya http://ayahaan.wordpress.com pake nama M Subchan Sholeh. sukses selalu
Amin……. 🙂
bila semua orang mampu bersikap seperti itu mungkin kemiskinan akan bisa ditekan secara signifikan. selamat sore ayo bantu mereka yang kekurangan
[…] Marjinal Filed under: Uncategorized — @ 5:17 am […]
kang, ada titipan buat akang.. silahkan di donlod, mari2
Mengenaskan yah dinegara kita ada sekolompok orang kaya gitu… semoga ada perbaikan dari itu semua.
salam kenal.
Maka dari itulah, salah satu fungsi zakat adalah agar terjadi pemerataan rizki titipan sehingga si kaya tak terlalu berat pada harta dan si miskin merasakan nikmatnya.
Cuma, ah… khawatir saya cuma omong doang.
Mari terus ingatkan saya agar bisa selalu berbagi pada sesama.
Nice post!
wah, tahu gitu pas aku di jogja kita bsa janjian ketemuan dong ya *lah kok melenceng dari topik wkwkwkkk*
kalo di surabaya udah jarang banget pengemis coz sering banget diajak kejar2an ma satpol PP terus dibina akhirnya banyak yang pindah lokasi ke daerah2 deket2 surabaya seperti gresik n sidoarjo…
Kaum marjinal selalu ada di setiap negara. Namun kuantitasnya pasti berbeda-beda tiap negara. Di jepang sama di indonesia pasti beda. Masalaah kesejahteraan tergantung kualitas ekonomi suatu negara memang
salam mampir ke blog kami
Kontes SEO ERAnet .. Support kami
Kemarjinalan kadang kala membuat kita terlihat berbeda, untuk menghilangkannya sudah ada keinginan untuk peduli. Namun kemarjinalan bisa menjadi lahan empuk untuk orang-orang yang memang malas melepas identitas marjinal yang melekat di badan yang berada di dunia lain… jadi bingung…
Mas… Tukeran Link Boleh Ya… Henny Faridah
salam kenal, boleh tuker link.. blognya dah saya add
dari pada jd pengemis lebih baik mati kelaparan,,,
kerena mengemis sama artinya dengan pasrah tanpa usaha/ihtiar apapun…
pemulung lebih tinggi derajatnya dari pengemis…..
Ulah Snouck Hurgronje dan antek2 nya kali yaaa kelamaan dijajah ame Belanda bongso walondo apalagi dengan “Teori Receptie in Complexu” akhirnya mentalitas masyarakat kita yang notabenenya mayoritas Muslim jadi lemah, tapi di sisi lain kita juga banga dengan para pejuang terdahulu, kuat mental dan spiritualnya, gigih, punya daya juang yang tinggi dan sepi ing pamrih rame ing gawe. La kalo sekarang bukan kaum “marjinal” doank yang bermental pengemis padahal sudah diajarkan “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” namun orang2 yang sudah diberi kecukupan rizkipun masih juga bermental “pengemis” pandai menjilat sogok sana sogok sini, ABS demi memuluskan tujuannya walaupun dengan cara2 yang melanggar norma dan hukum. Udah begitu kalaupun ada yg mo bantu juga karena ada maunya (pamrih pribadi atau politik???). Sewaktu Situ Gintung jebol banyak banget tuch bantuan (pada berlomba-lomba) bandingkan dengan Gempa Tasik….. pertanyaanya “Mal Farqu Baina Gintung wa Tasik” munkin karena sebelum dan sesudah pemilu kali Wallahu a’lam bishshowab. Sory kepanjangan koment-nya jadi nglantur kemana-mana.
Salam kenal buat mas Arif, nitip link saya ya mas http://noelz88.wordpress.com
kasih nama ja Muhammad Heru, sukses selalu buat mas Arif
wah kajian bahasane apik mas…. jadi punya ide buat nulis tentang kajian bahasa. 🙂
meski begitu mas, saya lebih hormat sama orang yang tidak mampu tapi memilih untuk bersabar dan tetap berusaha.
Sampai trenyuh ku membacanya…
Tidak ada ceritanya orang menjadi miskin karena suka memberi.
Tetapi sering terjadi si kaya merasa miskin karena sukanya hanya diberi.
Salam silaturahim, Om.
Istilah marjinal memang terlalu general untuk disematkan kepada kata pengemis. etnis atau agama minoritas jika memang terpinggirkanpun bisa disebut kaum marjinal.
Saya setuju dengan apa yang dikatakan Bung Alwi, masalah mental memang menyebabkan pengemis kini menjadi profesi yang berprospek bagus :mrgreen:, seperti orang yang satu ini.
Blog saya pindah mas kesini. 🙂
memang negara kita sekarang lagi kacau ,apalagi semenjak presiden kita SBy (sumber bahaya) .negara kita menjadi begini ,aQ pengen presiden kita digantikan !!!!!!!
OKI HERMAWAN
[…] bisakah mereka-mereka yang ter-marjinal-kan itu dipersalahkan atas perilaku dan sikap mereka sendiri yang tak mau giat berusaha sehingga […]
Seharusnya kaum pengemis harus berusaha dulu, karena kalau dia cuma menggantunkan hidupny dengan cara mengemis maka bisa disebut mereka telah putus asa…
Memang kemiskinan tuch dah gak bisa kita hindarkan……
maklum lah kurangnya pendidikan …
karena semua serba mahal…
lam kenal y..?
[…] wawasan tentang kondisi yang ada. Sekolah untuk rakyat kecil, yang hidup dengan pas-pasan bahkan termarjinalkan itu memang masih minim. Sekolah untuk rakyat kini juga minim perhatian, bahkan oleh pemerintah. […]
[…] kita yang terpaksa hidup mengemis itu memang seperti termarjinalkan di satu sisi. Beberapa pihak sudah berusaha melakukan usaha demi membantu dan melakukan program […]
[…] jumlahnya juga makin banyak. Rupanya disparitas bisa jadi makin lebar. Yang miskin seolah makin termarjinalkan. Benarkah demikian? Kalau mau berdebat mengenai angka dan data, bisa jadi lama dan banyak […]
anak punk termasuk gak..kwakakak
anaka punk bikin gemes..pengen hajar aja
Ass…gan.??
Kl sy simpulkan tulisan di atas lbh mengarah pada larang memberi langsung pada pngmis dngn tujuan mengurangi pngemis…
Mnurt sy hal itu bkn satu2’y cara untk mengurangi pngmis,, sbnar’y jika pemrintah trutama pemda dlm hal ini sangat mudah skali cara’y…
Pada umum’y mreka yg mngmis itu tdk pnya pkrjaan, dn mngmis bknlah pilihan’y.
Hal itu mreka lakukan hanya untk mnyambung hdup kluarga’y..
Solusi’y adlah brikan mreka pkerjaan wlw hnya sbgai ptugas kbrshan, brikan gaji yg layak..bereskan.
thx
[…] hina tapi nasibnya selalu mujur. Tentang kenyataan masih banyak anak gelandangan dan copet yang ter-marjinal-kan. Tentang pendidikan yang dianggap tidak memuaskan di negri ini. Tentang lapangan kerja yang semakin […]